Sekadar mengingatkan pada era Dwikora, Singapura itu
belum lahir, artinya perselisihan tentang pembentukan negara Malaysia tidak ada
kaitannya dengan “provinsi” Singapura waktu itu. Sehingga sabotase yang dilakukan Usman dan
Harun di Orchard tanggal 10 Maret 1965 harus dilihat sebagai bagian dari
operasi ganyang Malaysia. Dwikora belum
selesai, Singapura melepaskan diri dari persekutuan Tanah Melayu tanggal 9
Agustus 1965. Artinya dia sendiri
menelikung nilai perjuangan persekutuan tersebut.
PM Lee menabur bunga di makam Usman Harun |
Lembar sejarah berikutnya, konfrontasi berakhir kemudian
ASEAN didirikan di Bangkok tanggal 8 Agustus 1967. Lima negara ASEAN sebagai
pendirinya termasuk Singapura sesungguhnya ada dalam nawaitu dan tekad untuk
tidak lagi bermusuhan, bersahabat dan bekerjasama. Termasuk Filipina yang tak lagi meributkan
Sabah. Perjalanan kemudian membuktikan
bahwa persahabatan Indonesia dan Malaysia semakin merapat sementara Singapura
masih memendam benci. Terbukti dengan
eksekusi hukuman gantung kedua marinir Indonesia itu tanggal 17 Oktober 1968.
Namun meski sakit menyesak dada bagi sebagian besar
rakyat bangsa ini pada waktu itu, Presiden Soeharto memperlihatkan sikap tenang
untuk tetap melanjutkan niat baik ASEAN tadi. Setelah terjadi kerusuhan rasial
di Semenanjung Malaysia tahun 1969, Malaysia merapat ke Indonesia. Bagi pemerintah
Malaysia kerusuhan antar etnis ini adalah penelikungan kedua yang dilakukan
etnis tertentu setelah Singapura melepaskan diri dari persekutuan. Maka untuk tetap memegang kendali etnis,
Malaysia dan Indonesia sepakat pada tahun 1971 melalui operasi rahasia
“Soeharto-Tun Razak” memasukkan puluhan sampai ratusan ribu warga Indonesia ke
Malaysia. Inilah sejarah awal masuknya
tenaga kerja Indonesia. Dan ini juga
yang mestinya harus dihormati oleh Malaysia sebagai perjuangan agar etnis
tertentu di Malaysia tetap memegang kendali dominasi persentasi jumlah.
Kedekatan hubungan Indonesia-Malaysia membuat Lee Kuan
Yew merasa terjepit dan sedikit paranoid.
Maka melalui upaya diplomasi yang optimal PM Lee “berhasil” mengunjungi
Jakarta tahun 1973 itu pun dengan satu syarat yang diajukan Soeharto yaitu
bersedia berziarah ke makam kedua pahlawan nasional itu, Usman dan Harun. PM Lee bersedia menabur bunga kembang
pahlawan. Ini adalah kemenangan
diplomatik Indonesia yang paling indah dan mengharukan sepanjang dekade 70an. Maka
secara logika rasional dan emosional seharusnya tidak ada lagi ganjalan pola
pikir dan sesak nafas emosi diri dalam hubungan kedua negara.
Oleh sebab itu maka keberatan pemberian nama KRI Usman
Harun merupakan blunder diplomatik bagi Singapura sekaligus memberikan ruang
amunisi nasionalis patriotik bagi bangsa ini utamanya generasi mudanya. Puluhan juta generasi muda Indonesia rela
membuka kembali halaman sejarah kelam itu lewat berbagai media sosial dan media
lain, dan “menikmati” kisah heroik Usman Harun.
Singapura sepertinya tak paham dengan sejarah masing-masing bangsa. Dalam perang Iran-Irak tahun 80an ratusan
ribu tentara mati. Bagi Iran tentaranya
itu syuhada, bagi Irak tentaranya itu juga syuhada. Bagi Iran tentara Irak adalah penjahat perang
demikian juga sebaliknya. Singapura
harus melihat diri sisi ini. Tetapi
lebih penting dari itu jangan selalu mendikte dan superior dalam hubungan
bertetangga, biasa-biasa aja lah.
Indonesia itu sudah banyak memberikan manfaat eksistensi bagi tetangga
sekitarnya utamanya Singapura.
Dari semua dinamika yang terjadi belakangan ini,
perlakuan tetangga-tetangga itu memang pada akhirnya harus dijawab dengan perkuatan
militer sebagai basis kekuatan diplomasi selera tinggi. Perkuatan militer adalah
jawaban tak tertulis yang akan menyadarkan para tetangga untuk bisa menghormati
negara kepulauan terbesar di dunia ini.
Perkuatan militer Indonesia beriringan dengan kekuatan nyata nilai PDB
(Produk Domestik Bruto) yang dimilikinya meski persentasenya masih nol koma
sekian persen. Meski jumlahnya tetap konstan saja misalnya 0,8 % dari PDB, jika
PDBnya naik terus maka otomatis belanja militernya juga naik kelas. Artinya potensi kekuatan belanja militer
Indonesia sesungguhnya lebih dahsyat dari Singapura yang PDBnya hanya sepertiga
dari PDB Indonesia.
Singapura mestinya harus membaca prediksi dan perspektif
ke depan dalam pola etika bertetangga.
Dan harus ngaca diri. Sekuat apapun milter Singapura bukanlah merupakan
ancaman bagi Indonesia. Penjelasannya
mudah, itu negeri cuma segede Batam, hanya satu titik dalam konteks pertahanan. Sedangkan Indonesia terdiri dari beribu-ribu
titik. Dalam strategi militer tentu
pertahanan satu titik lebih mudah dihancurkan daripada yang punya beribu
titik. Tetapi jangan khawatir karena RI
sungguh tak punya niat untuk itu dan justru Singapura harus berterimakasih
karena Indonesia sudah menganggap negeri pulau kota itu sebagai daerah tujuan
wisata belanja atau “provinsi darmawisata”.
Elok-eloklah kita berjiran, tak perlu merasa superior
karena pola hubungan itu saat ini dan seterusnya sudah masuk dalam bingkai
saling memberi dan menerima. Bolehlah ente bangga dengan keberhasilan ekonomi
mencapai negara kesejahteraan, pusat keuangan no 4 di dunia, pusat wisata
belanja dan berbagai penghargaan keberhasilan multi dimensi. Tapi jangan karena predikat kehebatan itu
ente lalu berupaya mendikte tetangganya.
Indonesia sudah memastikan dirinya ada di 15 besar ekonomi dunia dan
akan terus berpacu menuju negara kesejahteraan yang kuat nilai-nilai
kebangsaannya. Sejalan dengan itu
modernisasi militer RI juga tengah berlangsung termasuk membeli 3 kapal perang
light fregat dari Inggris yang salah satunya diberi nama KRI Usman Harun.
Singapura harus mulai memahami mengapa semua komponen
bangsa Indonesia mulai dari kalangan pemerintahan, parlemen, dan rakyat bangsa
ini serentak menyuarakan ketidaksenangannya terhadap “intervensi”keangkuhan
diplomatik negeri itu. Jalan-jalan ke masa depan akan memberikan nilai prediksi
itu. Perkembangan ekonomi, kekuatan ekonomi, kekuatan militer, jumlah penduduk
dan masa depan Indonesia sesungguhnya lebih terjamin dibanding eksistensi sebuah
negara jasa yang mungil tapi arogan.
Berhati-hatilah dengan pertanda jaman, kebangkitan ekonomi dan militer
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar